Jumat, 22 Januari 2016

Desa Wisata Batik Giriloyo Yogyakarta

Desa Wisata Di Kampung Batik Giriloyo Yogyakarta - Sebenarnya, Giriloyo hanyalah satu dari tiga dusun yang menjadi tempat pembuatan batik khas Yogyakarta, disamping itu ada Dusun Karang Kulon dan Cengkehan yang juga menjadi sentra batik tulis. Suasana sebagai kampung batik sudah terlihat sejak masuk dusun dan disambut dengan Tugu Canting.
Desa Wisata Batik Giriloyo Yogyakarta
Desa Wisata Batik Giriloyo Yogyakarta
Setelah masuk ke sana, berjajar workshop pembuatan batik. Di salah satu rumah, seorang perempuan berjilbab coklat dan baju dengan warna senada sedang sibuk meniupi canting. Usianya sekitar 40 tahun. Di hadapnya kain putih dengan berbagai motif batif batik terbentang. Ia mengisi motif truntum dengan titik-titik di atas kain sepanjang satu meter itu. Beberapa motif yang lain telah selesai. Namanya Imaroh. Bersamanya, tujuh perempuan lain juga tengah membatik. di>>>>> Desa Wisata Batik Giriloyo Yogyakarta

Mereka duduk di atas dingklik kecil, melingkar. Di depannya, kain putih membentang, kompor dan wajan kecil tempat malam dilelehkan. Mereka tergabung dalam Kelompok Batik Sri Kuncoro. Selain Sri Kuncoro terdapat empat belas kelompok pengrajin lain di Desa Wukirsari, Imogiri, Bantul. Mereka tersebar di tiga dusun yaitu Giriloyo, Cengkehan, dan Karang Kulon.”Terdapat 600 kepala keluarga yang menjadi pengrajin batik tulis,” tutur Nur Ahmadi, ketua paguyuban kelompok pengrajin batik. Selain tergabung dalam kelompok, ada juga pengrajin yang memiliki usaha individual, seperti Sungsang dan Kusumo yang berdiri dekat Sri Kuncoro.

Dalam situs resminya, batikgiriloyo.com, disebutkan batik tulis mulai menghidupi Giriloyo sejak abad ke-17. Jejak kedekatan Giriloyo dengan kraton juga terlihat dari beberapa rumah yang masih bergaya joglo. Imaroh bercerita, awal perkenalan warga Giriloyo dengan batik terjadi ketika Kraton Jogja membangun makam raja dekat desa itu. Dulu, para lelaki Giriloyo merupakan abdi dalem kraton yang bertugas menjaga makam. Sementara itu, untuk memberdayakan kaum perempuan di Giriloyo, kraton meminta mereka membatik.
Pada awal perkembangannya, pembatik Giriloyo hanya membubuhkan malam sesuai motif. Batik mentah ini dikirim ke pusat kota Jogja untuk proses pewarnaan hingga menjadi kain siap pakai. Baru setelah terjadinya gempa Bantul 2006, kegiatan membatik di Giriloyo mulai dilirik pemerintah dan pemangku kebijakan lain untuk dikembangkan dengan serius. Kini, Giriloyo bisa memproses batik hingga kain jadi bahkan ada yang hingga menjadi pakaian siap pakai.
Di Sri Kuncoro misalnya, seluruh unit untuk memproduksi batik ada. Mulai dari tempat membuat pola hingga terakhir ruang pajangan di mana kain yang jadi dipamerkan. Memasuki rumah itu, di teras beberapa orang perempuan sedang mencanting. Ruangan di belakangnya difungsikan untuk proses pewarnaan. Setelah diwarnai, kain itu diangin-anginkan supaya warnanya meresap. Tambang dan jepitan kain warna-warni memenuhi ruangan ini. Di bagian paling belakang, terdapat tungku dan beberapa panci besar untuk nglorot, yang merupakan proses terakhir pembuatan batik. Batik yang telah selesai perlu direbus untuk melepaskan malam yang menempel.

Hingga kini, Giriloyo masih mempertahankan teknik tulis dan juga motif klasik khas Kraton Jogja. “Kami ingin membangun brand sebagai sentra batik tulis,” kata Nur Ahmadi. Motif khas kraton jumlahnya sangat banyak. Di antaranya, truntum, parang, sido asih, dan sido mukti. Masing-masing motif memiliki nilai filosofisnya sendiri. Misalnya, truntum berarti menuntun. Motif ini biasanya dipakai orang tua mempelai pengantin, sebagai tanda telah menyelesaikan tugas menuntun anak mencapai gerbang kehidupan yang baru. Ciri khas batik gaya Jogja juga terlihat dari penggunaan warna dominan coklat, biru, dan putih.

Secara turun-temurun perempuan Giriloyo membatik. Regenerasi pembatik di Giriloyo, berjalan begitu saja. Imaroh mengaku tidak pernah belajar secara khusus kepada orang tuanya cara membatik. “Hanya karena sering melihat jadi bisa,” sambungnya. Seni membatik mengalir di darah penduduk Giriloyo. Sekarang, pemerintah kabupaten mulai menyadari pentingnya regenerasi dengan memasukkan aktivitas membatik sebagai muatan lokal wajib mulai pendidikan dasar.
Masyarakat Giriloyo tetap membatik meskipun menemui berbagai kendala. Misalnya, pangsa pasar yang terbatas pada kalangan menengah atas dan juga ketersediaan bahan baku. Untuk merasakan eksotisme wisata budaya di Giriloyo pengunjung bisa memilih beberapa paket wisata yang ditawarkan paguyuban. Hanya dengan mengeluarkan uang Rp 25.000,00 pengunjung bisa belajar membatik dan hasilnya bisa menjadi buah tangan istimewa. Pengunjung akan mendapatkan kain berukuran sapu tangan beserta semua peralatan yang diperlukan untuk membatik. Sementara, jika ingin menginap dan merasakan denyut kehidupan Giriloyo yang asri cukup dengan membayar Rp 100.000,00.

Bila ingin ke Giriloyo, aksesnya mudah, dari Terminal Penumpang Giwangan langsung menyusuri Jalan Imogiri Timur sejauh kira-kira 15 km. Sepanjang jalan pengunjung akan disuguhi pemandangan hijau yang menyegarkan mata, 30 menit tak akan terasa lama. Perjalanan ini bisa ditempuh dengan kendaraan pribadi maupun umum.


Giriloyo menjadi tempat singgah yang nyaman bagi para wisatawan. Di sini, wisatawan bisa merasakan kedamaian desa, hijaunya sawah, jauh dari segala riuh kehidupan kota. Tak heran, wisatawan masih saja menyempatkan waktu untuk pergi ke Giriloyo, belajar  membatik, membeli batik, melihat proses membatik, dan menikmati keasriannya. Menghayati alam sekaligus kebudayaan manusia yang hidup berdampingan.